Pengantar
- Dalam Seri- 4 ini disampakan Penjelasan Hikmah di Balik Sabar – Sakit – Penderitaan dalam perspektif tasawuf dalam Bab X,
- Mari kita renungkan
BAB X HIKMAH SABAR SAKIT PENDERITAAN DALAM PERSPEKTIF TASAWWUF
A. Umum
- Dalam tradisi tasawuf, sabar (ṣabr), sakit (maradh), dan penderitaan (balā’) bukan sekadar fenomena hidup yang harus ditanggung, tetapi jalan penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) serta sarana mendekat kepada Allah.
- Para sufi—seperti Rābi‘ah al-‘Adawiyyah, Al-Junaid, Al-Ghazali, dan Ibn ‘Aṭā’illah—melihat bahwa derita adalah ketukan lembut Allah agar manusia kembali menyadari kelemahan dirinya dan keagungan Tuhannya.
- Tasawuf memandang bahwa jiwa tidak bisa menjadi jernih tanpa diuji; hati tidak bisa bercahaya tanpa rasa sakit; dan ruh tidak dapat naik derajat tanpa mengalami tempaan.[1]
B. Hakikat Sabar Menurut Tasawuf
1. Sabar sebagai Cahaya Rohani
Hadis Nabi ﷺ menyatakan:
“Sabar itu cahaya (diyaa’).”[2]
Dalam tasawuf, cahaya (nūr) bukan hanya metafora, tetapi kondisi batin yang menghasilkan kejernihan melihat hakikat.
Sufi berkata: “Sabar adalah cahaya yang memampukan seorang hamba melihat kasih Allah di balik takdir-Nya.”
Artinya, sabar membuat seorang hamba mampu membaca hikmah, bukan hanya merasakan beban.
2. Sabar sebagai Tahap Pertama Menuju Ridha
Al-Ghazali menjelaskan bahwa sabar adalah tangga pertama, sementara ridha dan mahabbah adalah puncaknya.[3]
Sabar menurut tasawuf memiliki tiga tingkat:
- Menahan diri dari keluh kesah (tingkat awam).
- Menerima ujian tanpa protes (tingkat khawāṣ).
- Merasa nikmat dalam ujian karena melihat Allah di dalamnya (tingkat sufi/‘ārif).
Rābi‘ah al-‘Adawiyyah mencapai tingkat ketiga ini.
C. Hikmah di Balik Sakit Menurut Tasawuf
1. Sakit sebagai Bentuk Kasih Sayang Ilahi
Hadis Nabi ﷺ:
“Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka.”[4]
Bagi para sufi, sakit bukan azab, tetapi pemurnian.
Al-Junaid berkata: “Dalam sakit terdapat siraman kasih yang tidak diberikan dalam sehat.”
Sakit membuat:
- hati lembut,
- ego runtuh,
- manusia kembali bergantung kepada Allah.
Karena itu Rābi‘ah berkata: “Sakit adalah tamu dari Tuhanku; maka aku memuliakannya”.
2. Sakit Menghapus Dosa dan Menumbuhkan Nurani
Hadis Bukhari:
“Tidaklah seorang Muslim tertimpa sakit, kelelahan, atau duka cita melainkan Allah menghapus sedikit dari dosa-dosanya.”[5]
Sufi memandang bahwa sakit bukan hanya penghapus dosa, tetapi penghapus hijab (tabir) antara hamba dan Tuhannya.
Orang yang sehat sering tertipu oleh kuatnya dirinya. Orang yang sakit menyadari bahwa ia tidak memiliki apa-apa kecuali Allah. Inilah hikmah tertinggi sakit menurut tasawuf.
D. Hikmah di Balik Penderitaan Menurut Tasawuf
1. Penderitaan sebagai Jalan Naiknya Derajat Ruhani
Hadis Nabi ﷺ:
Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka.”[6]
Ujian bukan menandakan penolakan Allah— justru tanda pemilihan dan pengangkatan derajat.
Ibn ‘Aṭā’illah dalam al-Ḥikam berkata:
“Kadang Allah memberi melalui ujian apa yang tidak diberikan melalui ibadah.”[7]
Artinya: “ada maqām (derajat ruhani) yang hanya dapat dicapai melalui penderitaan.
2. Penderitaan Menghilangkan Ketergantungan pada Dunia
Sufi mengajarkan bahwa Allah menguji seorang hamba untuk memutuskan ketergantungannya kepada makhluk.
Penderitaan membuat seorang hamba:
* tidak bergantung pada kekuatan fisik,
* tidak sombong dengan prestasi,
* tidak tertipu oleh dunia.
Ruh menjadi ringan ketika dunia dilepaskan; inilah hakikat perjalanan spiritual.
3. Penderitaan sebagai Jalan Menuju Ma’rifat (Mengenal Allah)
Dalam QS Al-Baqarah 155–157 Allah menjanjikan:
- rahmat,
- petunjuk,
- kasih sayang,
- bagi orang yang sabar dalam ujian.
Para sufi menafsirkan ayat ini bahwa: “Ujian adalah gerbang ma’rifat.”
Tanpa ujian, hati tidak terbuka;
tanpa derita, manusia tidak bertanya;
tanpa sakit, manusia tidak merendah.
Rumi berkata: “Luka adalah tempat cahaya memasuki dirimu.”[8]
E. Kesatuan Makna Sabar – Sakit – Penderitaan
Dalam perspektif tasawuf, ketiganya membentuk satu sistem perjalanan ruhani:
- Sakit melemahkan jasad → hati menjadi peka.
- Penderitaan menghancurkan ego → nafs menjadi tunduk.
- Sabar menata hati → jiwa menjadi tenang (ithmi’nān).
- Setelah itu muncullah ridha (ikhlas menerima).
- Puncaknya adalah mahabbah (cinta Ilahi).
Bagi para sufi: “Tidak ada sakit kecuali di dalamnya ada obat batin. Tidak ada penderitaan kecuali di dalamnya ada pintu kehadiran Allah.”
Inilah inti hikmah tasawuf.
F. Penutup
- Hikmah sabar, sakit, dan penderitaan dalam tasawuf bukanlah ajaran pasrah tanpa usaha.
- Ia adalah ilmu tentang bagaimana hati membaca peran Allah dalam setiap kejadian.
- Sakit tidak lagi dipandang sebagai musuh, tetapi sebagai “guru rohani”.
- Penderitaan bukan keburukan, tetapi “jalan pulang menuju Allah”.
- Sabar menjadi kunci yang membuka cahaya;
- penderitaan menjadi ladang tempat rahmat turun; dan
- sakit menjadi tamu istimewa yang membawa kabar cinta dari Tuhan.
Catatan Kaki
[1] Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Bab Sabar dan Syukur.
[2] Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-Ṣabr.
[3] Al-Ghazali, Iḥyā’, Jilid 4, hlm. 56–60.
[4] Tirmidzi, Sunan al-Tirmiżī, Kitab al-Zuhd.
[5] Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitab al-Maradh.
[6] Tirmidzi, Sunan al-Tirmiżī, Hadis tentang ujian para Nabi.
[7] Ibn ‘Aṭā’illah, al-Ḥikam, Hikmah ke-34.
[8] Jalaluddin Rumi, Mathnawī, Buku I.
Bersambung ke SERI-5
Penulis : Drs. Suripno. Mstr
Editor : Redaksi
Sumber Berita: haikunnews.id






